LOMBOK - Terdapat 204, 7 juta orang atau 73, 7 persen penduduk Indonesia yang menggunakan internet saat ini. (We Are Social, 2022). Sementara data Global Internet Statistic, per Januari 2021, 59, 5 persen penduduk bumi atau 4, 66 miliar yang telah terkoneksi internet.
Demikian disampaikan Sekretaris Jendral Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Mira Tayyiba, dalam 1st Digital Economy Working Group (DEWG) Meeting G20 di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada Rabu (30/3/2022).
Mira yang juga bertindak selaku Chair DEWG pun mengungkapkan, jika peningkatan intensitas penggunaan dan arus data ini telah mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan berbagai peluang bisnis baru.
Data telah menjadi aset vital dalam perekonomian dunia, dan nilai pemanfaatan data dapat mencapai 13 triliun dolar AS pada 2030 (McKinsey, 2019). Walau demikian, intensitas penggunaan internet dan arus data di satu sisi juga meningkatkan kerentanan data terhadap ancaman online.
Selama 2020, tercatat ada 37 miliar insiden ancaman data (Risk Based Security, 2021) dan kerugian global akibat kejahatan siber diprediksi mencapai 6 triliun dolar AS pada 2021 (Cybersecurity Ventures).
“Meningkatnya pemanfaatan data serta beragam kerentanan dalam pemanfaatannya, semakin menggarisbawahi urgensi untuk memperkuat keamanan siber dan tata kelola data, termasuk dalam meregulasi arus data lintas batas negara di level global guna mewujudkan ekosistem digital yang semakin berimbang, inklusif, memberdayakan, dan kelanjutan, ” ujar Mira.
Pandemi COVID-19 yang melanda belahan dunia dua tahun belakangan, menyebabkan perubahan perilaku masyarakat dalam mengakses internet. Hal itu berdampak pada peningkatan arus data secara global. Digitalisasi berbagai sektor di seluruh dunia pun akhirnya menjadikan data sebagai aset vital perekonomian dunia.
World Economic Forum mencatat bahwa pada 2020, terdapat 44 zettabytes total data dalam ekosistem digital. Pada 2021, United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) memprediksi bahwa traffic data global akan meningkat dari 230 exabytes (2020) ke 780 exabytes (2026).
Baca juga:
Peringatan Hari Ibu Ke-93 Kota Mataram
|
Tingginya arus traffic internet merupakan cerminan dari semakin tingginya tingkat penetrasi internet populasi dunia.
Wujudkan Tata Kelola Data yang Lebih Baik
Pada 1st Digital Economy Working Group (DEWG) Meeting G20, Indonesia mengusung tiga isu prioritas dalam meja perundingan, di antaranya (1) Connectivity and Post-COVID-19 Recovery, (2) Digital Skills and Digital Literacy, dan (3) Data Free Flow with Trust and Cross Border Data Flow.
“Isu ketiga yakni Data Free Flow with Trust (DFFT) and Cross Border Data Flow (CBDF), mencakup pembahasan mengenai pertukaran data lintas negara yang sedang kami perjuangkan di level G20. Cukup sering kita mendengar mengenai kebocoran data atau penyalahgunaan data pribadi/cyber-crime. Kami mengharapkan ada tata kelola yang lebih baik diantara negara-negara anggota G20 dengan memperhatikan prinsip-prinsip lawfulness, fairness, transparency, reciprocity, ” kata Mira.
Mira menjelaskan, prinsip lawfulness (keabsahan) mengharuskan transfer dan pemrosesan data dilakukan berlandaskan dasar hukum. Sementara prinsip fairness mengatur perlakuan dan perlindungan data yang baik dan sewajarnya.
Kemudian, prinsip ketiga yang diusulkan adalah transparency (transparansi) yang mengatur transparansi subyek data dalam bentuk informasi, dan prinsip reciprocity (timbal balik) adalah prinsip yang mengharuskan adanya aksi mutual dari berbagai pihak dalam pelaksanaan Data Free Flow with Trust (DFFT) dan Cross Border Data Flow (CBDF).
Indonesia sebagai Presidensi G20 dan Chair/Ketua DEWG yang pertama memandang bahwa prinsip-prinsip tersebut adalah dasar yang sangat umum ditemukan dalam kerangka internasional yang berkaitan dengan aktivitas arus data lintas batas Negara.
“Dalam Pertemuan Pertama DEWG, isu itu menjadi pembahasan hangat karena masih belum bertemunya kepentingan negara-negara anggota yang memiliki tata kelola data serta praktik pengelolaan data yang berbeda-beda. Masih terdapat beberapa negara yang belum sepenuhnya mendukung Isu Prioritas Ketiga DEWG. Meski demikian, negara-negara anggota G20 memahami bahwa arus data lintas batas negara memang perlu untuk diregulasi di level internasional mengingat saat ini data menjadi instrumen vital dalam setiap sektor, ” tutur Mira.
Selain itu, lanjut Mira, para delegasi juga menyambut dengan baik upaya Indonesia yang memperdalam diskusi mengenai isu prioritas ketiga DEWG yang sudah berlangsung sejak masa Presidensi Italia di 2021, baik di level normatif-prinspiah, maupun secara lebih konkret-operasional.
“Dengan berbagai perbedaan pandangan, terlebih di tengah gejolak geopolitik dunia yang tidak menentu, Indonesia tetap dapat menunjukkan identitas politik luar negeri ‘Bebas dan Aktif’ dengan mempertimbangkan semua masukan konstruktif dari negara-negara anggota maupun para undangan yang hadir dalam 1st DEWG Meeting secara seksama dan tanpa terkecuali. Hal ini turut menunjukkan bahwa peranan yang Indonesia ambil sebagai consensus seeker juga bridge builder dapat terus terjaga serta kita tunjukkan kepada dunia, ” pungkas Mira. (Ismadi/Untung/Rauf)